Wednesday, 29 June 2016

Gerakan 30 September

Sejarah Peristiwa G30S PKI
G30S/PKI yang juga dikenal dengan nama Gerakan 30 September atau singkatan lainnya berupa Gestapa(Gerakan September Tiga Puluh) dan  Gestok(Gerakan Satu Oktober) merupakan peristiwa yang terjadi beberapa tahun setelah Indonesia merdeka. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 september 1965 malam, hingga esok harinya dimana ada pembunuhan tujuh perwira militer dalam sebuah kudeta. Sebenarnya Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah lama meniupkan hawa perlawanan dan pemberontakan terhadap Indonesia. Kelompok ini bersikeras untuk mengganti dasar negara Republik Indonesia, yakni Pancasila menjadi negara yang berdasar asas komunis. Perlawanan PKI yang tidak diterima oleh setiap kalangan ini, menjadikan kelompok ini merencanakan sebuah rencana yang besar.


Latar Belakang
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan Partai Komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Ketika dilakukan audit pada tahun 1965, tercatat bahwa anggota aktif dari partai ini melebihi angka 3,5 juta, belum termasuk 3 juta jiwa yang menjadi anggota pergerakan pemuda. Selain itu, PKI juga memiliki kontrol penuh akan pergerakan buruh, menambahkan 3,5 juta orang lagi dibawah pengaruhnya. Hal tersebut belum berhenti, karena masih ada 9 juta anggota dari pergerakan petani, serta beberapa gerakan lain seperti pergerakan wanita, organisasi penulis, dan pergerakan sarjana yang membuat total anggota PKI mencapai angka 20 juta anggota termasuk pendukung-pendukungnya.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jenderal militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut menyambut gembira sistem baru yang diperkenalkan oleh Soekarno, yaitu Demokrasi Terpimpin yang menurut PKI mampu menciptakan persekutuan konsepsi NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). pembubaran parlemen dan penetapan konstitusi yang didukung penuh oleh PKI membuat masyarakat mencurigai bahwa PKI lah dalang gerakan G30S/PKI
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum Borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politik dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign exchange reserves munurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah. PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezim Demokrasi Terpimpin dan, dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk "Angkatan Kelima" dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer menentang hal ini.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan bersama" polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya mereka
Peristiwa G30S/PKI baru dimulai pada tanggal 1 Oktober pagi, dimana kelompok pasukan bergerak dari Lapangan Udara Halim Perdana kusuma menuju daerah selatan Jakarta untuk menculik 7 jendral yang semuanya merupakan anggota dari staf tentara. Tiga dari seluruh korban yang direncanakan, mereka bunuh di rumah mereka yaitu Ahmad Yani, M.T. Haryono, dan D.I. Panjaitan. Ketiga target lain yaitu Soeprapto, S. Parman, dan Sutoyo ditangkap hidup-hidup, sementara target utama mereka, Jendral Abdul Harris Nasution berhasil kabur setelah melompati dinding yang berbatasan dengan taman di kedutaan besar Iraq. Meski begitu, Pierre Tendean yang menjadi ajudan pribadinya ditangkap, dan anak gadisnya yang berusia lima tahun, Ade Irma Suryani Nasution, tertembak oleh regu sergap dan tewas pada 6 Oktober. Korban tewas bertambah ketika regu penculik menembak dan membunuh seorang polisi yang menjadi penjaga rumah tetangga Nasution, Karel Satsuit Tubun. Korban tewas terakhir adalah Albert Naiborhu, keponakan dari Pandjaitan, yang tewas saat menyerang rumah jendral tersebut. Mayat dan jenderal yang masih hidup kemudian dibawa ke Lubang Buaya, dan semua dibunuh serta mayatnya dibuang di sumur dekat markas tersebut.
Ketika matahari mulai terbit, sekitar 2.000 pasukan diturunkan untuk menduduki tempat yang sekarang dikenal sebagai Lapangan Merdeka, sebuah taman yang ada di Monas. Meski begitu, mereka tidak berhasil menundukkan bagian timur dari area ini, karena pada saat itu merupakan daerah markas KOSTRAD yang dipimpin oleh Soeharto. Pada jam 7 pagi, RRI menyiarkan pesan yang berasal dari Untung Syamsuri, komandan Cakrabiwa, regimen penjaga Presiden, bahwa gerakan 30 September telah berhasil mengambil alih beberapa lokasi strategis di Jakarta dengan bantuan anggota militer lainnya. Mereka berkeras bahwa gerakan ini didukung oleh Central Intelligence of America (CIA) yang bertujuan untuk menurunkan Soekarno dari posisinya.
Yang menuliskan tinta kegagalan dalam sejarah peristiwa G30S/PKI kemungkinan besar adalah karena mereka melewatkan Soeharto yang mereka kira diam dan bukan tokoh politik pada masa itu. Soeharto diberitahu oleh tetangganya tentang hilangnya para jendral dan penembakan yang terjadi pada pukul 5:30 pagi, dan karena ini ia segera bergerak ke markas KOSTRAD dan berusaha menghubungi anggota angkatan laut dan polisi, namun tidak berhasil melakukan kontak dengan angkatan udara. Ia kemudian mengambil alih komando angkatan darat. Kudeta ini juga gagal karena perencanaan yang amat tidak matang dan menyebabkan para tentara yang ada di Lapangan Merdeka menjadi kehausan dibawah impresi bahwa mereka melindungi presiden di Istana. Soeharto juga berhasil membujuk kedua batalion pasukan kudeta untuk menyerah dimulai dari pasukan Brawijaya yang masuk ke area markas KOSTRAD dan kemudian pasukan Diponegoro yang kabur kembali ke Halim.
G30S/PKI baru berakhir ketika pada pukul 7 malam, pasukan yang dipimpin oleh Soeharto berhasil mengambil kembali kontrol atas semua fasilitas yang sebelumnya direbut oleh Gerakan 30 September. Ketika sudah berkumpul bersama Nasution, pada pukul 9 malam Soeharto mengumumkan bahwa ia sekarang mengambil alih tentara dan akan berusaha menghancurkan pasukan kontra-revolusioner dan menyelamatkan Soekarno. Ia kemudian melayangkan ultimatum lagi yang kali ini ditujukan kepada pasukan yang berada di Halim. Tidak berapa lama, Soekarno meninggalkan Halim dan tiba di istana presiden lainnya yang berada di Bogor. Untuk jasad ke-7 orang yang terbunuh dan dibuang di Lubang Buaya sendiri baru ditemukan pada tanggal 3 Oktober, dan dikuburkan secara layak pada tanggal 5 Oktober.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama "Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin Uni-Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah
"Saya perintahkan kepada Jenderal Mayor Soeharto, sekarang Angkatan Darat pimpinannya saya berikan kepadamu, buatlah Angkatan Darat ini satu Angkatan daripada Republik Indonesia, Angkatan Bersenjata daripada Republik Indonesia yang sama sekali menjalankan Panca Azimat Revolusi, yang sama sekali berdiri di atas Trisakti, yang sama sekali berdiri di atas Nasakom, yang sama sekali berdiri di atas prinsip Berdikari, yang sama sekali berdiri atas prinsip Manipol-USDEK."
Dalam sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana di bulan Februari 1966, perwakilan Uni-Sovyet berusaha dengan segala kemampuan mereka untuk menghindari pengutukan atas penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rejim Suharto. Parlemen Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia, Uni-Sovyet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam negeri Indonesia.
Penangkapan dan pembantaian
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah(bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatera Utara, di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Supersemar
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966, Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil "langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri, ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
Pertemuan Jenewa, Swiss
Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke tangan Suharto, diselenggarakan pertemuan antara para ekonom orde baru dengan para CEO korporasi multinasional di Swiss, pada bulan Nopember 1967. Korporasi multinasional diantaranya diwakili perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel, ICI, Leman Brothers, Asian Development Bank, dan Chase Manhattan. Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.
Hal ini didokumentasikan oleh Jhon Pilger dalam film The New Rulers of World (tersedia di situs video google) yang menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan.
Peringatan G30S/PKI
Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G-30-S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober, ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film mengenai kejadian tersebutjuga ditayangkan di seluruh stasiun televisi di Indonesia setiap tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya dilakukan upacara bendera diMonumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak ditayangkan lagi dan hanya tradisi tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September - 4 Oktober 2006, para eks pendukung PKI mengadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok. Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.

No comments:

Post a Comment